Menyelesaikan Persoalan Keuangan Daerah: Jika tidak ada aral melintang, Indonesia akan menjadi tuan rumah Sidang Tahunan Indonesia Monetary Fund-World Bank (ST IMF-WB) di Nusa Dua, Bali pada 2018. Rencananya, rangkaian ST IMF-WB tersebut akan dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 188 negara serta perwakilan dari berbagai level termasuk lembaga pemeringkat kredit, investor, LSM, dan sektor swasta. Mengingat penyelenggaraan ST IMF-WB tinggal tahun depan, maka kondisi 2017 menjadi sangat krusial. Diharapkan pemerintah, melalui APBN 2017, mampu membangun modalitas domestik yang memadai dalam mendukung terselenggaranya ST IMF-WB dengan baik. Untungnya, pemerintah secara tidak langsung sudah menyusun filosofi APBN 2017 yang selaras dengan tujuan ini. Dengan tetap mengusung pembangunan infrastruktur di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017, sedianya akan dibangun jalan sepanjang 815 km, jembatan sepanjang 9.399 km, 13 bandara, fasilitas pelabuhan laut di 55 lokasi, jalur kereta api tahap I dan lanjutannya, serta modernisasi terminal penumpang di tiga lokasi lanjutan.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp377,8 triliun atau hampir setara dengan 18,6 persen dari total belanja negara. Dibandingkan waktu yang sama dalam lima tahun terakhir, alokasi tersebut meningkat sangat signifikan. Di tahun 2012 misalnya, alokasi belanja infrastruktur masih 9,8 persen total belanja negara. Alokasi itu naik 14,2 persen pada 2015 dan 15,2 persen pada 2016. Menariknya, kenaikan persentase alokasi pada 2017 juga didukung dengan adanya kewajiban pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) yang awalnya mayoritas habis hanya untuk belanja gaji dan operasional semata. Ini artinya semangat pemerintah untuk memperbaiki kualitas belanja daerah mulai terealisasi.
Pada 2016, nilai besaran investasi proyek prioritas mencapai Rp912,7 triliun. Beberapa proyek strategis di antaranya program pembangkit listrik 35.000 MW; pembangunan kilang minyak Pertamina di Cilapacap, Balikpapan, dan Tuban; Kereta Cepat Jakarta-Bandung; LRT Jakarta-Bogor Bekasi; Pelabuhan Kuala Tanjung; Jalan Tol Pekanbaru-Dumai; Jalan Tol Solo-Ngawi-Kertosono; serta Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat.
Percepatan pembangunan tersebut memang dirancang dalam upaya mewujudkan tema utama ”Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas”. Adapun strategi yang ditempuh di antaranya memperkuat stimulus yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing, meningkatkan ketahanan fiskal dan menjaga terlaksananya program-program prioritas di tengah tantangan perekonomian global, serta mengendalikan risiko serta menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang.
Dari sisi daerah, pemerintah juga melakukan banyak perbaikan, khususnya dari sisi manajemen keuangan daerah. Pemerintah mengingatkan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk tidak sekadar mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari bunga dana kas daerah yang mengendap di perbankan karena hanya akan menjadi dana mengendap (idle fund). Hal ini terbukti ketika posisi nilai simpanan pemda di sektor perbankan hingga akhir Oktober 2016 masih mencapai Rp206,85 triliun dengan simpanan pemerintah kabupaten mencapai Rp113,71 triliun, pemerintah provinsi sebesar Rp58,47 triliun, dan simpanan pemerintah kota Rp34,67 triliun.
Pada akhir November 2016, posisi tersebut memang menurun menjadi Rp198,8 triliun dan ditargetkan untuk di bawah Rp80 triliun di akhir 2016. Namun, hal ini sepertinya masih menyisakan persoalan serius karena senantiasa berulang setiap tahun. Oleh karena itu, kinerja daerah seyogyanya tidak sekadar diukur dari total PAD semata, tetapi juga dihitung dari persentase pajak dan retribusi daerah yang berhasil dikumpulkan. Semakin besar persentase tersebut menandakan munculnya aspek kemandirian daerah dan sebaliknya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah menginjak dasawarsa kedua. Sudah banyak coretan sejarah yang diukir. Munculnya banyak gubernur, bupati, dan walikota yang inovatif menjadi contoh positif dari pelaksanaan desentralisasi di era reformasi. Namun demikian, beberapa dampak negatif juga wajib untuk terus dievaluasi bersama. Masih rendahnya derajat pelaksanaan desentralisasi fiskal serta makin tingginya aspek ketergantungan terhadap dana pusat misalnya dapat menjadi prioritas utama. Berdasarkan hitungan penulis, sejak tahun 2008 hingga 2014, derajat desentralisasi fiskal di Indonesia hanya bergerak dari angka 0,17 hingga 0,23 atau masuk dalam kategori less good.
Dilihat dari data per daerah secara akumulatif, hanya Provinsi DKI Jakarta yang memiliki derajat desentralisasi fiskal very good dengan nilai 0,54 hingga 0,70. Kemudian Provinsi Banten, Provinsi Jatim, Provinsi Jabar, dan Bali masuk dalam kategori good. Sementara sisanya masuk seluruhnya dalam kategori less good dan not good. Hal yang sama juga tereflesikan dalam derajat kemandirian daerah, di mana Provinsi DKI Jakarta memiliki diskresi penuh dalam pengelolaan APBD-nya, sementara Provinsi Banten, Jabar, Jatim, dan Bali masuk dalam kategori partcipatory. Daerah lainnya masuk dalam kategori consultative dan instructive.
Prioritas berikutnya terkait dengan fenomena dana idle. Dalam kacamata penulis, munculnya dana idle ini menandakan adanya mekanisme yang kurang sesuai antara pemerintah pusat dengan pemda. Di level pusat, pemerintah berusaha sekuat mungkin mengefisiensikan penganggarannya demi memperlebar fiscal space dengan harapan dapat menjaga momentum pertumbuhan di daerah. Sementara di sisi lain, pemda justru tidak menangkap hal tersebut sesuai yang diharapkan.
Banyak permasalahan yang menjadi penyebab utamanya. Efek gerakan nasional pemberantasan korupsi sering dijadikan alibi utama. Belum lagi persoalan kehati-hatian para aparat pemda dalam menghadapi proses lelang, khususnya terkait dengan banding dan sanggahan. Belum lagi persoalan konflik politik di daerah menjelang pelaksanaan pilkada serentak. Di suatu daerah, aktivitas pemerintah biasanya akan lumpuh ketika pasangan kepala daerah kemudian memutuskan untuk berpisah di tengah jalan dan siap beradu di pilkada berikutnya.
Kondisi ini jelas perlu segera diselesaikan. Pemerintah pusat harus segera memikirkan mekanisme seperti apa yang dapat dijadikan alat reward and punishement bagi daerah, sehingga ke depan mampu berlomba-lomba mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Konversi pencairan transfer ke daerah secara kas menjadi Surat Berharga Negara (SBN) bagi daerah yang kinerja pengelolaan anggarannya buruk, sejatinya hanya menjadi satu instrumen kecil bagi kebijakan yang seharusnya lebih komprehensif.
Reformasi lainnya juga wajib dilakukan, termasuk sisi perbaikan sistem penganggaran di pemerintah pusat, sehingga dana akan tersalurkan tepat waktu. Keterlambatan penyaluran dana pemerintah pusat ke daerah turut menjadi andil dalam peningkatan endapan dana pemda di sektor perbankan. Di samping itu, faktor lainnya adalah usulan kepada daerah untuk wajib mengalokasikan minimal 25 persen anggaran daerah, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) kepada sektor infrastruktur. Reformasi menjadi makin urgent ketika pemerintah memutuskan untuk tetap menambah alokasi transfer ke daerah dan dana desa menjadi Rp764,9 triliun, melebihi alokasi belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp763,6 triliun.
Keterbukaan dan saling pengertian untuk memperbaiki permasalahan masingmasing menjadi kata kunci yang mujarab dalam mengatasi persoalan ini secara bijaksana. Jangan sampai pelaksanaan desentralisasi fiskal yang awalnya diharapkan dapat menciptakan aspek kemandirian di daerah, justru berbuah bom waktu yang dapat membahayakan aspek sustainable fiscal di Indonesia ke depannya.
Yang juga dibutuhkan adalah pola pikir out of the box demi menjaga kesinambungan alokasi anggaran infrastruktur yang memadai. Jika hal ini dapat dijalankan, ke depannya penulis yakin bangsa Indonesia akan mampu mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi yang hilang satu persen menurut versi World Bank, sekaligus mencapai status negara dengan skala ekonomi terbesar ke-7 di dunia sebagaimana yang sudah disampaikan dalam visi misi ”Bersama Indonesia Maju 2030”.
Menyelesaikan Persoalan Keuangan Daerah
Oleh: Joko Tri Haryanto
Peneliti Pada Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal
Sumber: Media Keuangan Maret 2017 – Kementerian Keuangan RI
Artikel Lainnya: