Prospek Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia

Prospek Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia

Prospek Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia. Ekonomi dan keuangan syariah baik Global maupun Nasional terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Laporan The State of the Global Islamic Economy Report (SGIE) 2020/2021 memperkirakan bahwa warga Muslim membelanjakan 2.02 triliun dolar pada tahun 2019 untuk sektor-sektor makanan, produk farmasi, kosmetika, fesyen, perjalanan dan media/rekreasi. Tingkat pengeluaran tersebut tumbuh sebesar 3.2% y.o.y. sejak tahun 2018 yang lalu. Di samping itu, aset keuangan syariah diperkirakan telah mencapai 2.88 triliun dolar pada tahun 2019.

Namun demikian, pandemi COVID-19 yang terjadi di seluruh belahan dunia telah menyebabkan penurunan kinerja perekonomian global. Bisnis, investasi, dan pemerintahan dan ekonomi Islami di seluruh dunia terjerat dalam krisis keuangan.

Pandemi ini diramalkan akan menyebabkan 8% penurunan dalam pengeluaran warga Muslim global di 2020 untuk sektor-sektor ekonomi Islami. Seluruh sektor-sektor tersebut, kecuali perjalanan, diperkirakan akan kembali ke tingkat pengeluaran pra-pandemi diakhir 2021. Pengeluaran warga Muslim diperkirakan akan mencapai 2.3 triliun dolar di 2024 pada Tingkat Pertumbuhan Kumulatif Tahunan (CAGR) 3.1%.

Baca Juga: Prinsip Dasar Ekonomi dan Keuangan Syariah

Dalam laporan SGIE 2020/2021 disebutkan bahwa pengeluaran konsumen Muslim untuk makanan naik 3.1% di 2019 menjadi 1.17 triliun dolar dari 1.13 triliun dolar di 2018. Krisis COVID-19 diperkirakan tidak akan menyebabkan penurunan besar dalam belanja Muslim untuk 2020, dengan perkiraan penurunan sebesar 0.2%.

CAGR sebesar 3.5% diperkirakan terjadi di antara 2019 dan 2024, dengan pembelanjaan Muslim diharapkan mencapai 1.38 triliun dolar di 2024. Pengeluaran Muslim di perjalanan naik 2.7% di 2019 dari 189 milyar dolar ke 194 dolar, kurang dari separuh dari tingkat pertumbuhan 6.8% di tahun sebelumnya. Meskipun demikian, karena dampak dari krisis COVID-19, pembelanjaan Muslim di perjalanan diperkirakan turun ke 58 milyar dolar di 2020 dan akan pulih ke tingkat di 2019 pada tahun 2023 di 195 milyar dolar. Belanja konsumen Muslim dengan CAGR 37.5% diharapkan terjadi di antara 2020-2024.

Pembelanjaan konsumen Muslim pada busana naik 4.2% di 2019 ke 277 milyar dolar. Iran, Turki dan Arab Saudi menempati peringkat teratas negara-negara yang tertinggi tingkat belanja busananya dan mempertahankan posisinya sejak tahun lalu. Karena dampak krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim turun 2.9% di 2020 ke 268 milyar dolar meskipun pemulihan ke tingkat 2019 diperkirakan akan terjadi di 2021.

Pengeluaran konsumen Muslim diperkirakan akan tumbuh pada CAGR 3.8% di antara 2020-2024 untuk mencapai 311 milyar dolar di tahun 2024. Pembelanjaan untuk kosmetika dari konsumen Muslim di seluruh dunia adalah 66 milyar dolar di 2019, tumbuh 3.4% dari pengeluaran di 2018. Di tahun 2020, belanja konsumen Muslim diperkirakan turun 2.5%, ke 64 milyar dolar, dan kemudian naik pada CAGR 3.8% untuk mencapai 76 milyar dolar di 2024.

Pembelanjaan konsumen Muslim untuk produk farmasi naik 2.3% dari 92 milyar dolar di 2018 ke 94 milyar dolar di 2019. Karena krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim akan merosot ke 6.9% di 2020 menjadi 87 milyar dolar.

Baca Juga: Cara Islam Menghidupkan Perekonomian

Meskipun demikian, diperkirakan terjadi pemulihan ke tingkatan 2019 di tahun 2021. Pengeluaran konsumen Muslim dalam sektor produk farmasi diharapkan naik dengan CAGR 4.7% dari 2020 dan akan mencapai 105 milyar dolar di tahun 2024. Pengeluaran konsumen Muslim di media dan rekreasi naik 3.7% menjadi 222 milyar dolar di 2019 dari 214 milyar dolar di 2018.

Karena dampak dari krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim turun 3.7% di 2020 menjadi 214 milyar dolar. Meskipun begitu, pemulihan melampaui tingkatan di 2019 diperkirakan terjadi di 2021. Pengeluaran konsumen Muslim untuk media diperkirakan tumbuh 5.9% dari 2020 dan seterusnya dan akan mencapai 270 milyar dolar di 2024.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Ekonomi syariah di Indonesia pada tahun 2020 menempati peringkat ke-4 dunia dengan skor Indikator Ekonomi Islam Global (Global Islamic Economy Indicator/GIEI) sebesar 91.2 di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan UEA.

Pada produk makanan, Indonesia tercatat berada di posisi ke-4 sebagai produsen produk halal dunia dengan skor  GIEI sebesar 71.5. Pada produk Islamic Finance, Indonesia tercatat berada di posisi ke-4 dengan skor GIEI sebesar 111.6.

Pada sektor perjalanan ramah muslim, Indonesia tercatat berada di posisi ke-6 dengan skor GIEI sebesar 45.3. Sektor Modest Fashion tercatat berada di posisi ke-3 dengan skor GIEI sebesar 57.9. Sektor Farmasi dan kosmetik tercatat berada di posisi ke-6 dengan skor GIEI sebesar 47.5. Terakhir pada sektor media rekreasi tercatat berada di posisi ke-5 dengan skor GIEI sebesar 43.6.

Meskipun kinerja ekspor Indonesia pada produk fesyen Muslim, makanan halal, dan pariwisata halal, terus meningkat, namun secara agregat, Indonesia memiliki net impor yang besar untuk produk dan jasa halal. Indonesia selalu mencatatkan namanya pada peringkat 5 besar consumer markets, seperti konsumsi produk makanan halal, farmasi halal, kosmetik, dan fashion, namun tidak termasuk kedalam 5 besar eksportir produk tersebut.

Baca Juga: Nilai-nilai Ekonomi Syariah

Oleh karena itu, Indonesia Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mempunyai peluang besar untuk mengakselarasi produk dan jasa halal, tidak saja untuk kebutuhan dalam negeri tetapi juga mempunyai peluang untuk go ekspor. Hal ini sejalan dengan tekad dan kebijakan pemerintah Indonesia menetapkan pada tahun 2024 akan menjadi pusat produsen produk halal dunia.

Beberapa tantangan dalam pengembangan ekonomi syariah khususnya industri halal di Tanah Air, yaitu:

  1. Regulasi terkait industri halal yang belum memadai.
  2. Literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang kurang,
  3. Interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah.
  4. Peningkatan konsumsi dan kebutuhan produk halal di dalam negeri yang tidak diimbangi dengan jumlah produksinya.
  5. Tata kelola dan manajemen risiko sektor halal masih belum memadai.
  6. Pemanfaatan teknologi belum optimal pada industri halal.
  7. Standar halal Indonesia belum dapat diterima di tingkat global (Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019- 2024).

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2018 yang lalu telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024.

Visi yang ingin dicapai dengan adanya Masterplan ini adalah menjadikan Indonesia yang mandiri, makmur dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia.

Dengan visi tersebut, terdapat empat target capaian utama yang direkomendasikan dalam Masterplan ini, yaitu (1) peningkatan skala usaha ekonomi syariah; (2) peningkatan peringkat dalam Islamic Economic Index Global dan nasional; (3) peningkatan kemandirian ekonomi; dan (4) peningkatan indeks kesejahteraan.

Untuk mencapai visi tersebut, terdapat empat strategi utama yang menjadi acuan para pemangku kepentingan ekonomi syariah. Strategi tersebut adalah: (1) penguatan rantai nilai halal yang terdiri atas industri makanan dan minuman, pariwisata, fesyen Muslim, media, rekreasi, industri farmasi dan kosmetika, dan industri energi terbarukan; (2) penguatan keuangan syariah; (3) penguatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); dan (4) penguatan ekonomi digital.

Selain itu, ada enam strategi dasar yang menjadi ekosistem pendukung strategi utama di atas, yaitu: (1) penguatan regulasi dan tata kelola, (2) pengembangan kapasitas riset dan pengembangan; (3) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia; dan (4) peningkatan kesadaran dan literasi publik.

Dalam menjawab tantangan pengembangan ekonomi syariah, implementasi strategi di atas dituangkan dalam quick wins yang dibagi menjadi tiga tahapan utama. Pada tahapan pertama, inisiatif diprioritaskan untuk meletakkan landasan penguatan aspek hukum dan koordinasi.

Selain itu, kampanye nasional gaya hidup halal dibutuhkan untuk meningkatkan literasi dan kesadaran mengonsumsi komoditas yang ramah Muslim. Pada tahapan kedua, beberapa inisiatif harus dilakukan sebagai program utama, antara lain: pembentukan dana halal nasional. Fungsinya untuk memfasilitasi pembiayaan industri halal.

Lainnya adalah pendirian badan halal di tingkat regional untuk penguatan industri halal dan aktivasi Islamic Inclusive Financial Services Board (IIFSB). Lembaga ini akan memposisikan Indonesia sebagai referensi internasional dalam pengembangan dan tata kelola dana sosial Islam.

Selanjutnya, dalam tahapan ketiga, harus ada kerja sama dengan luar negeri dalam bentuk pendirian pusat halal internasional. fungsinya untuk mempercepat investasi luar negeri dalam industri halal dan harmonisasi standar sertifikasi halal Indonesia di luar negeri.

Sumber: Rapat Anggota dan Orasi Ilmiah Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Lampung

Bandar Lampung, 29 Januari 2022

Recommended For You

About the Author: Guntur Subing

Memiliki hobi tulis menulis dan mengelola blog. Moto; "Bersemangat dalam Pengembangan Diri dan Terus Belajar Sampai Akhir Hayat"