Menulis-Membaca, Antara Kata dan Makna : Menarik. Sungguh mengesankan ketika membaca tulisan saudara Muslim dengan judul : ”Aku Menulis, Maka Aku Ada” (Lampung Post, 10 Juni 2007). Tulisannya ibarat pecut sapi. Kenapa pecut sapi? Karena tulisan tersebut adalah sarana untuk memotivasi, mengarahkan, menanamkan rasa dan menggairahkan bagi mereka yang hobi menulis.
Saya katakan hobi, karena kebutuhan akan menulis bukan didasarkan pada keinginan. Artinya, ketika menulis adalah sebuah hobi, seseorang melakukannya dengan rasa dan pikiran, dengan minat yang bergelanyut dalam dirinya. Memang, semuanya diawali dengan keinginan, namun tatkala berubah menjadi kebutuhan, orientasinya pun berubah arah. Ia butuh bukan ingin. Kalau ia butuh, artinya ia harus melakukan sesuatu yang mendukung kebutuhannya. Bukan paksaan, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Menulis berarti menegaskan eksistensi. Begitu kalau saya boleh menyimpulkan apa yang di tulis oleh Muslim. Menegaskan bahwa keberadaan manusia memang ada ditengah hiruk pikuknya kehidupan alam raya. Manusia boleh berbicara, manusia boleh berkata sesuka hatinya. Kalau berbicara saja boleh, mengapa tulisan tidak diperbolehkan? Siapa bilang menulis tidak diperbolehkan..!!??
Kalau menulis dilarang semua akan menuntut, memberontak, mengecam, mengumpat, mengadili mereka yang melarang menulis. Bahkan sekarang sudah zamannya mengungkap yang tabu agar yang tabu tak menjadi tabu. Itulah perubahan, yang tak mungkin di kekang. Karena atas dasar sifat manusia yang tak ingin dikekang. Jadi, menulis adalah sebuah kemerdekaan diri. Sebuah ciri. Simbol kemanusiaan manusia.
Seorang teman pernah mengatakan bahwa menulis merupakan sebuah kreatifitas untuk menuangkan sebuah ide. Kita harus berbangga katanya, karena kita mampu mengelola ide tersebut menjadi sebuah tulisan. Kalaupun ide tersebut harus di publikasikan kita harus yakin bahwa tulisan tersebut harus bermanfaat dan bermakna bagi orang lain. Bukan justru banyak mudharatnya dari manfaatnya. Tidak semua tulisan harus dipublikasikan katanya, lalu, ia menambahkan bahwa tulisan itu memiliki ruang. Yakni ruang privasi dan ruang publik. Tidak semua tulisan memiliki ruang publik, kita harus memilih dan memilah agar tidak salah penempatannya.
Lain hal dengan kawan yang satu lagi, dia bilang menulis bukanlah langkah untuk mencari eksistensi diri. Eksistensi diri tak perlu di tonjol-tonjolkan. Ujungnya nanti justru memaksakan diri yang berlebihan . Pada akhirnya kecewa, karena berharap pada sesuatu yang bukan Pemberi Harap. Jadi, eksistensi diri itu ada, tak perlu dicari. Yang harus dilakukan adalah bagaimana membangun kreatifitas dalam menulis itu sendiri. Karena kreatifitas dalam menulis adalah bentuk aktualisasi diri. Mempertegas eksistensi bukan mencari eksistensi.
Mempertegas eksistensi, makna, manfaat, ruang privasi dan ruang publik adalah sedikit dari kreatifitas dalam menulis. Karena menulis adalah rasa, pikiran dan imajinasi yang bertaut tak henti-hentinya. Ia membongkar, menendang, mengendap dan keluar dari yang abstrak menuju kongkrit. Lahir dari rahim ide dan membentuk ide-ide yang baru. Ide ibarat amoeba, membelah diri dan menjadi beragam. Membentuk kolonisasi dari yang satu menjadi banyak atau sebaliknya dari yang banyak menjadi sedikit. Semuanya disebabkan ulah manusia itu sendiri.
Begitulah menulis, tak ada habisnya. Kecuali kata telah di bungkam dan diintervensi maknanya. Meminjam Pernyataan Sutardji Calzoum Bachri dengan ”Kredo Puisi”nya, sebagaimana dikutip oleh Arif Bagus Prasetyo dalam ”Epifenomenon, Telaah sastra terpilih” mengungkapkan bahwa ”kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
Lebih lanjut Sutardji mengungkapkan bahwa ”kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”. Kemudian ia mempertegas kembali dengan mengungkapkan ”bila kata telah dibebaskan, kreatifitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri.”
Kata haruslah berdiri sendiri. Tak ada seorangpun yang boleh menjajah kata. Kata harus bebas, merdeka dari siapapun. Tak ada seorang pun yang boleh memaksakan makna kata-kata. Tulisan Sutardji tersebut menekankan pada penulisan puisi yang dimaknainya, namun bukanlah sebuah pemaksaan ketika pernyataan tersebut memang relevan untuk sisi yang lain.
Lebih mengedepankan akan rasa dan makna, ketika kata-kata berangkai-rangkai membentuk kesatuan menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf dan seterusnya, ia melahirkan sebuah rasa dan makna bagi sang pembaca. Karena tak sepenuhnya penulis adalah penulis. Sebab penulis yang telah menulis akan berubah menjadi pembaca. Baik menjadi pembaca karyanya sendiri maupun karya orang lain.
Pernyataan tersebut menjadi pemikiran yang mendalam bagi Gus tf dalam catatan penyair pada buku ” Daging Akar, Sajak-sajak 1996-2000”. Dan juga menjadi catatan penting bagi Sapardi Djoko Damono yang menulis pada buku tersebut dimana posisinya sebagai penulis Catatan Pembaca. Bahwa posisi penulis setelah menuliskan karyanya, pada akhirnya berada posisi yang sama dengan pembaca lainnya, karena ia sama-sama pembaca.
Senada namun berbeda dengan apa yang di tulis oleh Muslim, bahwa pada awalnya, menulis merupakan proses kelanjutan dari membaca. Maka, membaca dan menulis adalah dua kegiatan berbeda yang tak bisa terpisahkan. Membaca adalah memahami teks, sedangkan menulis adalah menghimpun makna dari beragam naskah yang pernah dibaca.
Bagi saya menulis adalah menghimpun makna melalui rasa dan pikiran yang dimiliki manusia. Kemudian makna-makna tersebut menjadi makna-makna yang lain melalui rangkaian kata-kata. Dengan membaca kita mamahami makna dan mendapatkan makna baru dari kegiatan tersebut. Suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada umat manusia dengan potensi akal, hati dan nafsunya.
Ketiga hal tersebut (akal, hati dan nafsu) akan menjadi potensi yang besar dalam melahirkan makna melalui kegiatan baca tulis. Sebagaimana Rosulullah menerima wahyu yang pertama dengan mempertegas Iqro sebagai sebuah kegiatan yang mulia.
Tentu dalam konteks ini kita tak mengharapkan terjadinya sinisme yang dilontarkan oleh Muslim, pada gilirannya, kegiatan membaca dan menulis hanya dijadikan tempat pelarian bagi orang-orang yang kalah bertempur di medan politik dan bisnis.
Kegiatan membaca dan menulis harus terbebas dari rasa terasing dan bentuk pelarian. Membaca dan menulis ibarat sebuah karomah yang di berikan kepada manusia, karena binatang tak mampu melakukannya, begitu juga dengan tumbuhan dan mahluk-mahluk lainnya. Membaca, menulis dan berbicara satu kesatuan unik yang membentuk sebuah unit sosial yang terangkum dalam aktifitas mahluk sosial. Dimana mahluk sosial ini adalah kolektifitas dari kehidupan yang penuh dengan makna-makna.
Antara kata dan makna, sebuah potret kemanusiaan manusia. Ia ada, ia nyata dan harus tetap dijaga serta dimanfaatkan potensinya.
Oleh: Guntur Subing
Dimuat di Harian Lampung Post, Juni 2007
Baca Juga :
Baca Juga :