Perkembangan Industri Asuransi Di Indonesia : Pada saat penulis menulis artikel ini, penulis sedang dalam proses untuk menyelesaikan skripsi, sebagai manifestasi tugas akhir seorang mahasiswa. Judul skripsi penulis adalah “Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi BUMN dan Non BUMN”. Sebagai upaya penulis untuk mengkomparasikan bagaimana perkembangan industri asuransi saat ini.
Upaya untuk mengkomparasikan antara perusahaan asuransi BUMN dengan Non BUMN adalah dilatar belakangi oleh perkembangan industri asuransi yang pesat pada dekade 80 dan 90 an, namun mengalami stagnasi di era 2000 an. Padahal monopoli perusahaan asuransi BUMN yang sejatinya dapat menjadi penghalang perusahaan asuransi swasta kini telah dibuka, masing-masing pihak dapat berkompetisi dengan meningkatkan pelayanan yang prima tanpa harus bertempur pada wilayah harga polis atau premi yang ditawarkan.
Kepercayaan masyarakat terhadap asuransi lahir sebagai akibat dari pengalihan resiko yang mungkin terjadi pada setiap individu maupun masyarakat. Sebagai mahluk sosial yang penuh dengan resiko tersebut, menjadikan sebagaian masyarakat percaya untuk berasuransi, sehingga lahirlah sang penanggung dan yang tertanggung.
Menurut penelitian PT. PPA salah satu penyebab stagnannya perkembangan industri asuransi di Indonesia lebih disebabkan pada lahirnya regulasi baru tentang RBC (Risk Based Capital). Bahkan pengamatan PT. PPA bahwa kemungkinan jumlah perusahaan asuransi akan semakin berkurang.
Risk Based Capital adalah mengukur tingkat solvabilitas perusahaan atau kemampuan untuk menanggung segala resiko klaim. RBC tersebut berdasarkan pada KMK No. 424/KMK.06/2003, RBC paling sedikit 120% dari resiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
Untuk rata-rata tingkat RBC yang dihitung oleh PT. PPA dari seluruh industri asuransi di Indonesia yang berdasarkan pada laporan keuangan pada tahun 2003 mencapai 198,25% atau lebih besar dari 120%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan prosentase gross premium terhadap GDP yang sekitar 1,67% maka ruang untuk berkembang masih sangat besar. Sebagai perbandingan di Negara maju, Belgia misalnya rasio tersebut mencapai 5,1% sedangkan di Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia masing-masing mencapai 3,5% dan 1,9%.
Sebagai lembaga keuangan bukan bank industri asuransi memang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan lembaga keuangan perbankan. Perbankan menguasai hampir 60% dan bahkan mungkin lebih, jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya di Indonesia. Sehingga sangat wajar jika industri perbankan sangat berpengaruh terhadap sistem keuangan didalam perekonomian kita. Sehingga dominasinya tersebut sangat membahayakan sistem moneter jika tidak diawasi dengan ketat.
Sistem pengawasan di dalam industri asuransi pun tidak terlepas dari pengamatan pemerintah. Baik untuk menilai tingkat kesehatan industri asuransi maupun aspek lainnya. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi yang terdiri dari Batas Tingkat Solvabilitas, Retensi Sendiri, Reasuransi, Investasi, Cadangan Tekhnis dan Ketentuan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.
Dilihat dari data keuangan yang disediakan oleh BUMN Online dan BEI perkembangan dari situasi keuangan dari kedua jenis perusahaan yang memiliki Badan Hukum yang berbeda tersebut terlihat jelas jumlah Ekuitas dari perusahaan asuransi BUMN yang begitu besar dan hanya mampu di imbangi oleh PT. Panin Insurance dan PT. Panin Life.
Begitu juga halnya dengan perkembangan laba bersih perusahaan, jika dilihat dari segi kuantitas hanya PT. Panin Insurance dan PT. Panin Life yang mampu menyamai bahkan melebihi dari kuantitas yang diperoleh Perusahaan Asuransi BUMN dilihat dari data laporan keuangan pada tahun 2003-2005.
Namun besarnya jumlah kuantitas ekuitas dan laba tidak serta merta menjadi indikator bahwa perusahaan tersebut dikatakan sehat. Namun setidaknya hal tersebut menunjukkan bagaimana peranan persaingan industri asuransi di Indonesia yang di dominasi oleh peruahaan-perusahaan asuransi tertentu.
Pada akhir-akhir ini banyak kajian asuransi yang hanya bersifat umum dan tidak mengena pada fokus garapan yang sesuai. Yang lebih sering dibahas adalah masalah kajian pada asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Melalui Early Warning System (EWS) tingkat kesehatan keuangan asuransi kerugian dapat di ukur. Dan bahkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengeluarkan PSAK No. 28 Tentang Akuntansi Asuransi Kerugian pada tahun 1994, dan pada tahun 1996 mengeluarkan edisi revisi dari PSAK No. 28 tersebut serta mengeluarkan PSAK No. 36 Tentang Asuransi Jiwa.
Bagaimana dengan jenis usaha asuransi lainnya, untuk saat ini penulis belum menemukan peraturan yang mengatur masalah keuangan dari spesifikasi peruahaan asuransi melalui masing-masing jenis usaha asuransi yang berkembang. Hanya bersifat umum namun berbeda dengan perusahaan-perusahaan jenis usaha lain diluar perusahaan asuransi.
Begitu halnya dengan rasio-rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan perusahaan asuransi tersebut, terkecuali Asuransi Kerugian yang dengan sangat jelas dapat di ukur dengan menggunakan EWS.
Untuk saat ini menurut catatan penulis di Indonesia terdapat sembilan (9) Perusahaan asuransi BUMN dan untuk sektor swasta atau perusahaan asuransi yang listing di Bursa Efek Indonesia berjumlah dua belas (12) buah yang didominasi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian. Jumlah perusahaan asuransi ini belum dihitung dari jumlah perusahaan asuransi dari swasta yang tidak listing di BEI.
Berdasarkan Info Bank Juli 2004 yang dilaporkan oleh PT. PPA bahwa sebanyak 13 perusahaan asuransi yang berstatus PKU (Pembatasan Kegiatan Usaha) dan sebanyak 32 perusahaan masuk Dalam Pengawasan Khusus (DPK) yang berpotensi untuk masuk kedalam status PKU.
Selain faktor tingkat RBC yang menghambat pertumbuhan industri asuransi di Indonesia adalah tingkat kesadaran masyarakat Indonesia sendiri untuk berasruansi. Walaupun jumlah penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta jiwa namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat masyarakat yang berasuransi bahkan berbanding terbalik.
Baca Juga:
1. Pengertian Asuransi Serta Manfaatnya Bagi Masyarakat dan Dunia Usaha
2. Jenis-jenis Perusahaan Asuransi
3. Karakteristik Perusahaan Asuransi
Kenaikan dari jumlah Klaim asuransi pun mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, hal ini tidak menunjukkan tingkat kestabilan dalam perkembangan klaim asuransi. Jika dibandingkan dengan Negara-negara di Asia tenggara pertumbuhan tersebut masih jauh dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand. Apalagi jika dibandingkan dengan Negara-negara Eropa dan Amerika.
Jika dilihat dari pertumbuhannya, pertumbuhan sektor industri asuransi saat ini cukup berkembang pada asuransi jiwa. Mungkin karakter dari asuransi ini yang memang lebih sesuai dengan kondisi dari masyarakat Indonesia sehingga kesadaran untuk berasuransi terletak pada asuransi jiwa.
Pada akhirnya tulisan ini hanyalah sebuah refleksi, sebab dari sektor asuransi sumbangan pada PDB masih relatif kecil. Sebab tingkat konsumsi kita terhadap asuransi masih sangat rendah. Mungkin disebabkan oleh faktor kepercayaan dan kebutuhan untuk berasuransi belum sampai pada tingkat prioritas atau yang di utamakan, lebih kepada keinginan bukan pada kebutuhan.
Semua itu tergantung dari persepsi masyarakat dalam menghadapi resiko-resiko yang akan dihadapinya. Apakah resiko-resiko yang kemungkinan terjadi di masa yang akan datang tersebut lebih dipercaya untuk ditanggung sendiri atau justru memberikan penanggungan atas resiko-resiko tersebut kepada perusahaan asuransi. Wallahualam
Bandar Lampung, 2009
Baca Juga : PERUSAHAAN ASURANSI BERDASARKAN TINJAUAN PUSTAKA & PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN ASURANSI