Revolusi Industri 4.0 Pada SDM Sektor Publik. Pada tahun 2030 sebanyak 75 s.d. 375 juta pekerja di seluruh dunia akan terdampak proses otomatisasi dan digitalisasi yang sedang berlangsung. Demikian ungkap laporan McKinsey Global Institute, “Job Lost, Job Gained: Workforce transitions in a time of automation”, Desember 2017 lalu.
Baca Juga: 12 Cara Sukses Menjadi Sales Mobil
Istilah revolusi industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada “Hannover Fair” di Jerman tahun 2011. Saat itu diperkenalkan teknologi cyber physical production systems(CPPS). Teknologi ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Jerman dengan tajuk “Germany High-Tech Strategy 2020” dan dijalankan dengan pembentukan Pokja “industrie 4.0”. Dari sinilah istilah revolusi industri 4.0 lalu menggema ke seluruh dunia.
Selain CPPS ada beberapa produk teknologi lain yang menandai bergulirnya revolusi ini. Misalnya, kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin, robot kolaboratif, augmented virtual reality, manufaktur aditif, komputasi awan, analitik data besar, dan internet untuk segala.
Dampak
Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia, Professor Klaus Schwabb dalam bukunya “Revolusi Industri Keempat” menyatakan, revolusi industri 4.0 memiliki skala, kompleksitas, dan cakupan yang berbeda dari revolusi industri generasi sebelumnya. Pengaruhnya akan sampai dengan bentuk, cara, dan kecepatan yang berbeda-beda.
Baca Juga: Daerah Penghasil Jahe di Indonesia
Dampak tersebut tidak selalu negatif. Misal pada tahun 2008, ketika Steve Jobs membuka peluang para pengembang aplikasi di luar Apple untuk menciptakan aplikasi bagi iPhone. Siapa yang menyangka pengembang aplikasi akan menjadi pekerjaan baru yang tujuh tahun kemudian bernilai lebih dari 100 miliar dollar (Forum Ekonomi Dunia, 2016).
Lantas bagaimana dampaknya? Jika revolusi industri 4.0 hanya mengefisiensikan model bisnis yang ada tanpa memunculkan permintaan barang dan jasa baru, maka harus dimitigasi karena berpotensi menciptakan efek disrupsi yang besar. Misalnya kemunculan usaha baru dengan pendekatan “Lembah Silikon” seperti Uber, Go-Jek, Airbnb, dan lain sebagainya bisa mematikan pemain lama seperti perusahaan taksi dan ojek pangkalan.
Sayangnya, bukti empiris terakhir mengindikasikan revolusi industri 4.0 memang menciptakan tenaga kerja baru yang lebih sedikit dibanding revolusi generasi sebelumnya. Ekonom Carl Benedikt Frey bersama pakar pembelajaran mesin, Michael Osborne, pada 2013 lalu telah menghitung kemungkinan komputer menggantikan peran manusia.
SDM Sektor Publik
Setidaknya ada tiga catatan jika dampak tersebut ditarik ke sektor publik di Indonesia.
Pertama, jeda waktu Mengingat penelitian di atas dilakukan di negara-negara maju dan berkonsentrasi di dunia bisnis, tentu akan ada jeda kapan dampak tersebut dirasakan oleh aparatur sipil Indonesia. Bahkan di Indonesia masih ada yang belum merasakan manfaat dampak revolusi industri 2.0, dengan belum teralirinya listrik secara memadai pada 12.659 desa (Kementerian ESDM, 2016).
Baca Juga: Pengertian Akuntansi Menurut Para Ahli
Kedua, melihat pola euforia di pemerintahan, revolusi industri 4.0 masih berpusat kepada perbaikan model bisnis. Tren tersebut terlihat dari berlomba-lombanya instansi pemerintah mengembangkan aplikasi layanan online. Sementara, belum banyak instansi mengidentifikasi peluang jabatan baru yang sebelumnya tak pernah ada di sektor publik.
Ketiga, meskipun mengarah pada perbaikan proses bisnis, jumlah aparatur sipil nampaknya tidak serta merta terpangkas. Selain karena aspek regulasi, sifat pekerjaannya yang berbasis manusia menuntut manusia yang bertanggung jawab dan akuntabel dibalik setiap arus data dan dokumen.
Rekomendasi
Sebagai Kementerian yang terdepan dalam program reformasi dan transformasi kelembagaan, Kemenkeu perlu berperan aktif menentukan arah transformasi digital organisasi.
Pertama, dengan menguatkan inisiatif strategis Kemenkeu pada tema sentral. Inisiatif ini sejalan dengan amanat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 59/KMK.01/2018. Dalam hal ini, pembangunan The Enterprise Architecture for Ministry of Finance (TEAM) dan kajian pembentukan unit/tim yang bertugas menyiapkan transformasi digital Kemenkeu dapat diperkuat dengan memikirkan kembali SDM Kemenkeu 4.0. Tepatnya SDM seperti apa yang mampu mendukung Kemenkeu menjadi organisasi yang tangkas di era digital.
Baca Juga: Ekonomi Digital dan Pajak E-Commerce
Kedua, mulai mengidentifikasi keahlian-keahlian yang dibutuhkan di masa depan dan celah yang ada sekarang. Tugas ini tidak ringan, mengingat negara-negara OECD pun masih direkomendasikan untuk mengaudit kecakapan atau meninjau kemampuan yang ada. Dengan begitu, mereka dapat melacak dan memetakan kompetensi yang tersedia, di mana kompetensi tersebut tersebar dan belum tersebar, serta celah kompetensi apa yang ada.
Ketiga, menyiapkan porsi rumpun jabatan terkait TIK yang lebih banyak seperti yang dilakukan di negara maju. Misalnya Australia, pada tahun 2017, rumpun jabatan bidang ICT menduduki peringkat keempat terbesar (7.2 persen), setelah rumpun pelayanan (24.8 persen), regulasi dan kepatuhan (15.6 persen); dan rumpun administrasi (12.3 persen).
Keempat, meningkatkan program pelatihan dan budaya pembelajaran. Adanya identifikasi kekosongan keterampilan yang dibutuhkan, tentu akan memudahkan penyusunan program pelatihan. Penanaman belajar sebagai budaya organisasi menjadikan SDM Kemenkeu lebih peka terhadap dinamika perkembangan, termasuk teknologi.(MK/06/2018)
Revolusi Industri 4.0 Pada SDM Sektor Publik
Oleh: Pandu Rizky Fauzi
Pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI