Ekonomi digital menjadi salah satu penanda masuknya dunia dalam babak baru ekonomi. Para ekonom menyebutnya sebagai revolusi industri keempat. Di sini, peran pemerintah sebagai pembuat regulasi menjadi penting agar negara tidak hanya mampu bersaing di kancah dunia, namun juga mampu memitigasi segala tantangan yang muncul. Merespons hal itu, Presiden Jokowi pada tanggal 21 Juli 2017 telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) / Road Map e-Commerce Tahun 2017-2019.
Perpres tersebut dikeluarkan dengan menggunakan pertimbangan bahwa ekonomi berbasis elektronik mempunyai potensi ekonomi yang besar dan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Selain itu, perpres tersebut juga mengamanatkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi berbasis elektronik, pemerintah perlu mendorong percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce), usaha pemula (startup), pengembangan usaha, dan percepatan logistik.
Beberapa program yang menjadi tujuan dari perpres tersebut mencakup program pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistik, keamanan siber, dan pembentukan manajemen pelaksana peta jalan SPNBE 2017-2019. Di satu sisi, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, pelayanan publik yang sama menjadi hak bagisetiap warga negara, namun di sisi lain setiap warga negara juga memiliki kewajiban yang sama untuk berpartisipasi membangun negara melalui pajak. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempunyai tugas berat mewujudkan keadilan ekonomi bagi semua warga negara melalui instrumen perpajakan.
Menanggapi peran tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa dalam menghadapi era ekonomi digital saat ini, masyarakat perlu memaksimalkan semua kesempatan yang ada untuk mencapai kesejahteraan bangsa dan negara. Untuk mendukung hal itu, negara akan selalu hadir sebagai pembuat kebijakan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi semua kalangan.
“Kalau opportunity sebegitu besar, the next adalah who can actually capitalize opportunity itu. Di sini letak public policy di Indonesia. That will heavily focusing on how we can create an equal opportunity,” jelas Menkeu dalam Seminar Ekonomi Nasional dengan tema ‘Quo Vadis Ekonomi Digital Indonesia’ di Hotel Mulia, Jakarta pada tanggal 21 Februari 2018.
Menyamakan level of playing field
Sebagai pembuat regulasi di bidang fiskal, Kemenkeu merespons isu keadilan ekonomi dengan menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait perpajakan e-commerce. Menurut Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Rofyanto Kurniawan, memang saat ini harus diakui bahwa perdagangan melalui e-commerce telah mampu menjadikan model bisnis jauh lebih efisien dibandingkan dengan perdagangan konvensional.
Di sisi lain, data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan adanya pergeseran pola belanja masyarakat yang beralih pada produk-produk e-commerce. Di sini, menurutnya, pemerintah perlu memberikan equal treatmentatau perlakuan yang sama terhadap pelaku e-commerce. “Kalau pedagang yang punya toko di mal, mereka bayar pajak, maka yang e-commerce juga harus kena pajak, sehingga mereka semua mendapat perlakuan yang sama di bidang perpajakannya sesuai aturan pajak yang berlaku,” jelas Roffy.
Baca Juga: Revolusi Industri 4.0 Pada Sektor Publik
Terkait dengan jenis pajak untuk e-commerce, Direktur Peraturan Perpajakan II (PP II), Yunirwansyah, menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada jenis pajak baru. Dalam hal ini, penerapan pajak e-commerce hanya akan melaksanakan ketentuan dalam peraturan yang telah ada saat ini, yaitu Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh wajib pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
“Ketentuan UU PPh dan UU PPN sebenarnya saat ini sudah cukup mengatur, namun karena adanya kekhususan dalam model transaksinya, maka tata cara pemungutan atau penyetoran pajaknya perlu untuk diatur agar memberikan kemudahan dan kesederhanaan administrasinya untuk seluruh model transaksi digital ekonomi,” jelasnya.
Mekanisme perpajakan
Terkait dengan tata cara pemungutan, Yustinus Prastowo, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menjelaskan bahwa e-commerce atau perdagangan elektronik merujuk kepada jual beli melalui sistem elektronik, yaitu melalui jaringan internet, dan memungkinkan transaksi dilakukan lintas batas tanpa harus ada toko secara fisik serta tatap muka penjual dan pembeli. Hal tersebut dapat terjadi karena seluruh kegiatan bisnis dilakukan melalu sistem internet atau online.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri telah memetakan e-commerce di Indonesia ke dalam empat model bisnis yang tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/ PJ/2013, yakni Online Marketplace (misalnya tokopedia.com), Classified Ads (misalnya tokobagus.com), Daily Deals (misalnya lakupon.com), dan Online Retail (misalnya lazada.com).
Lebih jauh, Yustinus menjelaskan pilihan skema perpajakan e-commerce yang bisa diterapkan oleh pemerintah. Untuk PPN, para pelaku e-commerce wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa apabila omset setahunnya melebihi Rp4,8 miliar.
Pemanfaatan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari tarif normal dapat menjadi pertimbangan dalam menggali potensi penerimaan yang efektif dengan potensi jumlah yang cukup tinggi.
Senada dengan hal tersebut, Kepala PKPN, Roffy, juga menjelaskan bahwa rencana tarif PPh 0,5 persen akan diterapkan dalam bentuk prepayment atau kredit pajak, sehingga dapat dikreditkan terhadap SPT Tahunan wajib pajak. Untuk tarif SPT-nya akan menyesuaikan dengan tarif pada UU PPh dan PP 46 Tahun 2013. Sementara itu, PPN hanya akan dikenakan kepada penjual dengan omset lebih dari Rp4,8 miliar.
“Jadi barang yang dibeli di marketplace itu kalau dibeli akan dikenakan PPh 0,5 persen, kemudian kalau PKP yang omsetnya di atas Rp4,8 miliar dikenakan PPN 10 persen. Tetapi kalau pedagang kecil hanya dikenakan PPh 0,5 persen sebagai bagian dari perpajakan keseluruhan. Kalau untuk pengusaha kecil yang sifatnya coba-coba, itu sudah final dengan PPh 0,5 persen,” ujar Roffy.
Menurutnya, dengan tarif yang kecil tersebut tidak akan menyebabkan penjual keluar dari marketplace dan pindah ke media sosial karena adanya trust atas penjaminan dari marketplace melalui escrow account atau rekening bersama.
“Paling tidak secara garis besar marketplace mampu memenuhi kebutuhan serta ada perlindungan kepada pembelinya, dan juga ada mekanisme komplain dan sebagainya. Dengan begitu otomatis pajak 0,5 persen akan dapat mendukung peningkatan compliance dan tetap mendukung masyarakat untuk belanja di marketplace,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak (PKP) DJP, Yon Arsal, turut menjelaskan bahwa terkait tantangan dalam pengumpulan data, DJP akan melakukan upaya optimalisasi data internal sebagai basis data penerapan pajak e-commerce. Selain itu, DJP juga sedang berkoordinasi dengan seluruh instansi dan pihak terkait untuk bekerja sama dalam memperoleh basis data pelaku dan transaksi e-commerce, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian selaku koordinator penanggung jawab Peta Jalan SPNBE, Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Perdagangan selaku pembuat regulasi terkait tata cara pemberian izin pelaku e-commerce, Bank Indonesia selaku pengawas sistem National Payment Gateway untuk transaksi e-commerce, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Jasa Keuangan terkait data dan informasi perbankan maupun jasa keuangan, serta asosiasi e commerce di Indonesia atau perwakilan industri e-commerce lainnya.
Transaksi cross border
Sementara itu, pemerintah juga ingin memberikan perlindungan dan keadilan domestik yang tegas untuk transaksi yang berasal dari luar negeri, atau biasa disebut dengan transaksi cross border. Di sini, peran Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi sangat penting. Menurut Djanurindro Wibowo, Kepala Subdirektorat Impor DJBC, transaksi cross border saat ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni untuk barang berwujud (tangible goods) dan barang tidak berwujud/barang digital (digital goods).
Lebih jauh, Djanur menjelaskan bahwa mekanisme pengiriman barang impor atas transaksi e-commerce berwujud saat ini terdiri dari dua kemungkinan skema. Pertama, skema melalui impor barang kiriman yang diatur pemungutan Bea Masuknya dengan PMK Nomor 182 Tahun 2016 melalui Perusahaan Jasa Titipan atau penyelenggara pos yang ditunjuk. Yang kedua adalah melalui impor dengan pemberitahuan umum melalui Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan menggunakan jasa kargo udara maupun kargo laut dalam bentuk konsolidasi.
Sementara itu, transaksi cross border untuk barang digital juga menjadi tantangan tersendiri bagi Kemenkeu, terutama untuk barang digital yang bersifat over the top (OTT). Menurutnya, jenis-jenis barang digital yang masuk dalam kategori transaksi cross border mencakup semua jenis data digital yang dapat ditransmisikan baik berupa piranti lunak, multimedia termasuk film dan musik, data berupa siaran televisi, data penggerak permesinan, desain, big data yang dilakukan penyimpanan dengan storage cloud, maupun sosial media baik dengan cara dikirim atau dialirkan (streaming).
“Tantangan pihak bea cukai di seluruh dunia adalah memastikan bahwa perdagangan memperoleh perlakuan yang adil, level playing field yang sama, antara perdagangan konservatif yang membayar pajak dan cara digital yang dapat ditransmisikan,” jelasnya.
Satu pandangan dengan DJBC, Rubino Sugana, Lead Revenue Adviser of Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), menjelaskan bahwa permasalahan e-commerce untuk produk digital lintas negara menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh negara di dunia.
“Sebenarnya impor jasa atau barang digital pun harusnya bayar PPh dan PPN, tetapi memang lebih susah. Akan tetapi, perusahaan besar seperti Netflix, Google, Facebook, Twitter ini kan public company. Mereka sangat concern terhadap reputasinya. Jadi kalau kita punya aturan yang jelas bahwa semua jasa ini kena pajak, mereka kemungkinan besar akan patuh,” jelasnya.
Di sisi lain, Direktur PP II, Yunirwansyah, juga menjelaskan bahwa saat ini sudah banyak negara lain yang menerapkan pajak e-commerce dan mampu memperoleh hasil yang signifikan.
Ia mencontohkan India, misalnya, mengambil langkah unilateral dengan mengenakan Equalization Levy (EQL) atas transaksi digital ekonomi mulai 1 Februari 2016, sedangkan Inggris mulai 1 April 2015 telah menerapkan Diverted Profit Tax (DPT) dengan tarif 25 persen atas laba usaha yang dialihkan ke luar negeri.
Sementara itu, Australia menerapkan Multinational AntiAvoidance Law (MAAL) secara efektif pada 1 Januari 2016 dengan tarif 40 persen dari diverted profit, serta Jepang melakukan perubahan UU Pajak Konsumsi untuk mengatur pajak konsumsi atas jasa e-commerce dengan tarif 8 persen dari nilai transaksi.
Keadilan Untuk Semua Kalangan
Oleh: Abdul Aziz
Sumber: Media Keuangan Maret 2018