Pada pembahasan kali ini saya ingin menjabarkan tentang Pentingnya Governance (Tata Kelola) dalam Stabilitas Sistem Keuangan. Artikel ini merupakan rangkuman dari webinar “Governance dan Stabilitas Sistem Keuangan” yang dilaksanakan oleh Indonesia Banking School, dengan pembicara Ahmad Hidayat, Anggota Komisioner OJK Indonesia.
Governance Dalam Perubahan Tatanan Dunia
Ahmad Hidayat dalam pemaparannya mengatakan “The world is constantly changing”, atau sering kita dengar pepatah yang mengatakan “Di dunia ini, yang pasti itu adalah ketidakpastian atau perubahan”. Perubahan adalah keniscayaan, yang menuntut responsivenees kita semua.
Di masa lalu kita masih mengenal wartel (warung telekom), kamera, telpon analog, dan saat ini kita menggunakan zoom, whatsApp, netflix dan sarana-sarana tekhnologi lainya.”Kita harus menerima kenyataan, ke depan seperti apa, banyak parameter yang kita lihat tanda-tandanya seperti 5G, teknologi-teknologi komunikasi yang lebih canggih, Artificial intelligence, Big Dat, Data Analytic dan sebagainya,” ujar Ahmad Hidayat, Jum’at, 17 Sepetember 2021.
Baca Juga: Prinsip Dasar Ekonomi dan Keuangan Syariah
Menurutnya, semua tanda-tanda itu akan mengubah bagaimana jalannya bisnis di dunia ini. Saat ini dunia tanpa batas yang ditandai dengan segala aktifitas yang serba cepat, termasuk di dalamnya adalah komunikasi tanpa batas yang bisa digunakan dengan Internet Based Media dan Apps. Dengan adanya perubahan ini maka Business Model juga ikut berkembang cepat dan lebih produktif.
Ia mencontohkan perubahan yang terjadi akhir-akhir ini karena adanya Pandemi Covid-19. Dari data yang dijabarkan oleh Ahmad Hidayat, dampak pandemi terhadap kegiatan usaha meliputi 84% UMKM mengalami penurunan pendapatan, 78,35% UMKM mengalami penurunan permintaan karena pelanggan yang terkena dampak Covid, 24% UMKM pada sektor Jasa dan Makanan dan Minuman mengalami penurunan omzet >50%, 62,21% UMKM mengalami kendala keuangan terkait pegawai dan operasional, dan 33,23% UMKM melakukan pengurangan jumlah pegawai.
“Dampak ini menumbuhkan pola-pola kehidupan yang baru, seperti pesan makanan yang take a way, camping, dan bisnis pengiriman barang yang meningkat. Saya menduga ini akan mengubah kehidupan kita yang akan datang.”
“Di Industri Jasa Keuangan, kita mengidentifikasi sektor-sektor mana yang akan mengalami perubahan. Disisi lain ada sektor-sektor industri yang akan meningkat akibat pandemi seperti sektor Health Care atau juga pendirian Rumah Sakit (kesehatan). Adjustment inilah yang selalu dimonitor, dilihat, diarahkan, difasilitasi dan melayani industri-industri yang membutuhkan intermediasi industri jasa keuangan,” tambahnya.
Perkembangan teknologi memunculkan banyak risiko dan memaksa organisasi untuk mengubah proses bisnisnya di tengah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Dengan adanya VUCA kita harus memperkuat Manajemen Risiko dan mengubah proses bisnis supaya bisa survive dalam menghadapi kondisi pandemi saat ini
Menurut OECD, Governance (Tata Kelola) sangat penting untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan.
Baca Juga: Menyoal Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan
Esensi dari Governance adalah mengendalikan dan menahkodai sebuah kapal (Farrar, 2001), dalam rangka menuju tujuan dari organisasi. “Katakanlah sebuah entitas/ korporasi yang memiliki sumber daya seperti SDM, kapital, fixed asset dan lainnya, semuanya dikelola dan diarahkan untuk mencapai tujuan dari entitas/korporasi. Pengarahan, pengendalian dan pengelolaan inilah yang disebut sebagai Governance. Dan Governance harus dijalankan dengan baik agar tujuan organisasi tercapai.”
Di Industri Jasa Keuangan (IJK), governance harus dijalankan dengan baik karena IJK seperti Bank, Asuransi, Dana Pensiun dan lainnya bergerak menggunakan dana dari masyarakat, untuk itu OJK berperan penting dalam mengatur governance di IJK.
Sejarah, Definisi dan Prinsip Governance
Menurut Adam Smith dalam The Wealth of Nations, ada beda kepentingan antara manajer dan pemilik perusahaan (1776).
Pengelolaan perusahaan perlu diserahkan kepada profesional, namun menimbulkan masalah baru yakni ada perbedaan kepentingan antara pemilik dan pengelola. (Adolf. A Berle dan Gardiner Means: 1932).
Pemisahan antara kepemilikan dan kontrol memunculkan teori keagenan (agency theory) oleh Jensen dan Meckling (1976).
Baca Juga: Perbedaan Antara Keuangan dan Ekonomi
Dalam satu entitas ada prinsipal dan agency yang memiliki perbedaan kepentingan. Maka dengan berjalannya waktu, pengelolaan perusahaan sudah tidak bisa lagi dijalankan oleh pemilik dan harus diserahkan kepada para profesional sehingga memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest). Inilah perlunya diatur mekanisme good governance, yang memasitikan tujuan perusahaan tercapai.
Sejarah Governance di Indonesia
Pada tahun 1997/1998, terjadi krisis ekonomi karena banyak perusahan di indonesia yang belum menerapkan Good Corporate Governance (GCG), khususnya belum diterapkannya etika bisnis (KNKG,2006).
Studi Asian Development Bank (ADB) mengidentifikasi bahwa kontributor utama dari krisis keuangan tahun 1997/1998 yakni lemahnya “tata kelola perusahaan”.
Pada tahun 1997: LOI IMF memuat 81 syarat, 48 diantaranya terkait good governance (Kapur & Webb, 2000).
1997: Bank Dunia memberikan bantuan reformasi governance dan antikorupsi (WB, 2000).
1999: dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG).
2004: Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
KNKG: Good Corporate Governance (GCG) dan Good Public Governance (GPG).
Defenisi Governance
Secara etimologis, governance berasal dari bahasa Perancis Kuno “Gouvernance” yang berarti pengendalian (control) atau regulated, merupakan suatu keadaan yang berada dalam kondisi terkendali (the state of being governed).
Governance adalah bagaimana patuh terhadap ketentuan internal maupun eksternal entitas, baik menyangkut tools, product, SOP dan sebagainya, yang perlu dikontrol dan dijaga. (Compliance, Following the Rules, Following the Conduct, Following the Agreed Comitment, dan For the Best Interest of the Owner).
Governance tidak dapat dipisahkan dari Risk Management & Compliance.
Menurut OCEG, Governance adalah tindakan yang mengarahkan, mengendalikan, dan mengevaluasi secara eksternal suatu entitas, proses, atau sumberdaya.
Baca Juga: Pengertian Akuntansi Menurut Para Ahli
Risk adalah dampak dari ketidakpastian terhadap pencapaian objektif (tujuan) atau dengan kata lain adalah deviasi dari apa yang diharapkan, bisa bersifat positif dan/atau negatif. (ISO31000:2018).
Compliance adalah kemampuan untuk membuktikan pemenuhan suatu persyaratan, aturan, dan hukum yang berlaku. (OCEG)
Tujuan dari Governance, Risk Management dan Compliance (GRC) menurut OCEG (Capability Model) adalah:
G: reliably achieve objectives, memastikan tujuannya tercapai
R: address uncertainty, harus mengatur risiko
C: act with integrity, harus dilakukan dengan integritas.
Prinsip-prinsip Good Governance
Prinsip-prinsip good governance bisa disingkat dengan TARIF (Transparancy, Accountability, Responsibility, Independency, & Fairness)
Transparancy
Menyediakan informasi material, relevan, dan tepat waktu yang mudah diakses stakeholders. Mengungkapkan informasi yang tidak hanya disyaratkan UU, tetapi informasi yang penting bagi pengambilan keputusan stakeholders.
Contoh: Regulator perbankan mewajibkan bank-bank untuk mempublikasikan laporan keuangan setiap tiga bulan atau juga Laporan Keuangan tahunan.
Accountability
Harus ada kejelasan fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab sehingga pengelolaan organisasi berjalan efektif.
Contoh: OJK mewajibkan setiap IJK untuk memiliki Komisaris Independen, Direktur Kepatuhan, Internal Audit dan sebagainya.
Responsibility
Pengelolaan organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melaksanakan tanggung jawab kepada lingkungan untuk kesinambungan jangka panjang.
Independency
Independensi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan organisasi, bebas dari konflik kepentingan. Berfungsi untuk menjaga agar entitas dapat berjalan sesuai rel/aturan yang telah ditetapkan
Fairness
Kewajaran dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak dan perlakuan terhadap pemangku kepentingan. (Keseimbangan antar pihak)
Pentingnya Penerapan Governance
Governance merupkan komponen penting dari Agenda Global Sustainable Development. UNEPFI PBB memasukan ESG (Evironmental, Social, Governance) sebagai kriteria penting yang harus diperhitungkan dalam riset dan pengambilan keputusan organisasi ketika akan melakukan investasi dalam rangka sustainble development.
Environmental meliputi climate change strategy, biodiversity, water efficiency, energy efficiency, carbon intensity, environmental management system.
Social meliputi equal opportunities, freedom of association, health and safety, human rights, cutomer and products responibility, child labour.
Governance meliputi business ethics, compliance, board independence, executive compensation, shareholder democracy.
“Ini adalah topik masa depan dan ini adalah sesuatu yang harus kita pikirkan untuk kelangsungan hidup umat manusia, kelangsungan lingkungan hidup anak cucu kita,” ujar Ahmad.
Baca Juga: Memberdayakan Zakat Bagi Ekonomi Umat
Menurutnya, Indonesia masuk ke dalam 3 negara sebagai paru-paru dunia, seperti Brazil dan Kongo. Untuk itu, Indonesia akan memainkan peran penting di masa depan.
Dengan penerapan governance yang baik maka akan:
- Membantu perusahaan menjaga standar kualitas produk dan jasa yang tinggi
- Mampu beroperasi secara lebih efisien dan berkinerja baik
- Meningkatkan akses terhadap permodalan
- Mengurangi risiko dan melindungi terhadap terjadinya mismanagement
- Memberikan perlindungan kepada investor
- Menarik minat investor untuk berinvestasi
Pada akhirnya, penerapan governance yang baik akan berkontribusi terhadap pembangunan. Peningkatan akses terhadap modal akan mendorong adanya investasi baru yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja yang baru.
Indikator World Governance di Indonesia
Persepsi publik terhadap kinerja pemerintah di enam indikator membaik dalam 10 tahun terakhir. Bank Dunia melakukan pengukuran WGI (World Governance Indicators) sejak tahun 1996. Pengukuran dilakukan pada 214 negara dengan 6 indikator
Resiko Penyuapan dalam Bisnis di Indonesia membaik. Dari 194 negara, pada tahun 2020, resiko penyuapan di Indonesia memiliki skor 44, dengan level risiko “medium”.
Kemudahan berbisnis di Indonesia menunjukkan perbaikan. Peringkat kemudahan berbisnis di indonesia dalam 10 tahun terakhir menunjukkan perbaikan, dari peringkat 129 pada tahun 2011 menjadi peringkat 73 pada tahun 2019 dari 190 negara. Namun demikan, bila dibandingan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Singapura (2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei (66) dan Vietnam (70).
Baca Juga: Ekonomi Digital dan Pajak E-Commerce
Maturitas Good Corporate Governance organisasi di Indonesia menunjukkan angka yang cukup baik. 78% organisasi telah menerapkan GCG secara formal, dengan 56,3% diantaranya telah terintegrasi dengan rencana strategis organisasi.
Akibat kelemahan dan kegagalan Governance
Krisis keuangan dapat disebabkan karena adanya kelemahan dan kegagalan dalam penerapan tata kelola perusahaan, antara lain gagalnya model risiko dalam mengantisipasi kedatangan krisis, lemahnya internal control atas penyajian laporan keuangan, kurang pemahaman terhadap inherent risk atas berbagai instrument portofolio, serta sistem remunerasi dan insentif yang kurang transparan (OECD,2009).
Peran OJK dalam Penguatan Governance di Industri Jasa Keuangan
UU OJK mengamanatkan agar sektor jasa keuangan Indonesia dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga terwujud sistem keuangan yang sehat dan stabil, serta melindungi konsumen dan masyarakat.
Pasal 4 UU No 21 tahun 2011 tetang OJK menyatakan, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
- Terselenggaranya secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
- Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
- Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Pasal 5 menyatakan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegerasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Mengapa Perlu Ada Tata Kelola di IJK?
OJK merupakan pengawas Lembaga Jasa Keuangan yang terintegerasi. Lembaga jasa keuangan adalah industri yang highly regulated, karena mengelola dana masyarakat dalam jumlah yang sangat besar.
Dimana Total exposure lembaga jasa keuangan adalah sebesar Rp 26.730 Triliun, yang terbagi dalam Perbankan, Pasar Modal dan IKNB (Industri Keuangan non Bank).
Terdiri dari Bank Umum sebanyak 107 bank dan 29.661 kantor dengan aset sebesar Rp. 9.411 triliun. BPR sebanyak 1.492 buah dengan 869 kantor dengan aset Rp 159 triliun.
Pasar Modal dengan 759 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan rincian IHSG sebesar 5.985, kapitalisasi sebesar Rp 7.106 triliun, NAB Reksadana sebesar Rp 536 triliun, Obligasi sebesar Rp 3.301 triliun dan nilai emisi sebesar Rp 87,98 triliun.
IKNB dengan 147 Perusahaan Asuransi dengan aset sebesar Rp945 triliun, 230 Lembaga Pembiayaan dengan aset sebesar 591 triliun, 2 BPJS dengan aset Rp 578 triliun, 217 Dana Pensiun dengan aset sebesar Rp 319 triliun, 130 LKK dengan aset sebesar Rp 274 triliun, 223 JP dengan aset sebesar Rp 14 triliun, 124 Fintech dengan aset sebesar Rp 4 triliun dan 228 LKM dengan aset sebesar Rp 1,25 triliun.
Untuk itu sangat penting dalam menerapkan good governance baik di lingkup OJK sebagai Lembaga Pengawas maupun di lingkup Lembaga Jasa keuangan sebagai entitas yang bergerak pada sektor keuangan. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan dan tidak bisa ditolerir.
Tata kelola menjadi pilar penguatan ketahanan dan daya saing IJK yang tertuang dalam Masterplan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021-2025, yakni “Memperkuat Tata Kelola Manajemen Risiko dan market conduct”.
Penerapan GRC (Governance, Risk Management dan Compliance) di Industri Jasa Keuangan
Lemahnya GRC dapat mengakibatkan terjadinya kasus-kasus fraud, accounting scandals, dan kegagalan bisnis yang biasanya berujung pada permasalahan hukum atau kebangkrutan (Djokic dan Duh, 2016).
Kegagalan dari tata kelola lembaga keuangan berakibat pada krisis finansial. (Lipton dan Lorch, 1992; Brownbridge, 2002).
Contoh yang nyata adalah krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008-2012.
Tata kelola, Risiko dan Kepatuhan (GRC) berdampak langsung pada kinerja lembaga jasa keuangan (Non Performing Loan, Return on Asset, Return on Equity, Capital Adequacy Ratio, dll). Hal ini dapat dilihat dari signifikansi dari masing-masing GRC yakni:
Governance, Lembaga Keuangan mengelola dana masyarakat sehingga diperlukan tata kelola yang baik.
Risk, Industri Jasa Keuangan adalah sesuatu industri yang sarat dengan risiko (Hopt, 2013).
Compliance, Lembaga keuangan sangat ketat regulasinya sehingga patut dijaga kepatuhannya (highly regulated and supervised).
Penerapan GRC merupakan aspek yang menjadi perhatian besar dalam proses bisnis di IJK, yaitu untuk memastikan bahwa sektor jasa keuangan dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan baik dan mampu menjaga kepercayaan pasar (Cetak Biru Pengembangan SDM SJK, 2021).
Peran OJK dalam Penerapan GRC di IJK
OJK melaksanakan tugas Pengaturan dan Pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal dan INKB.
- Ketentuan Tata Kelola. Menerbitkan POJK dan SEOJK yang mengatur mengenai pelaksanaan tata kelola di seluruh industri jasa keuangan.
- Buku Panduan GRC. Bekerjasama dengan GRC Forum Indonesia dalam menerbitkan Buku Panduan Mencapai Keunggulan GRC (2020) untuk menjawab permasalahan penerpan GRC di Indonesia yang mencakup prinsip, kerangka kerja, maturity model, dan assessment tools, sehingga diharapkan dapat mempermudah upaya untuk bersama-sama menerapkan GRC terintegerasi di masing-masing organisasi khususnya di lembaga jasa keuangan.
- SMAP dan SE KPK 19/2021. Implementasi Strategi Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) dan SE KPK nomor 19/2021 tentang gratifikasi di Industri Jasa Keuangan.
Ketentuan Tata Kelola di IJK
Dengan aspek tata kelola meliputi:
- Kerangka kerja tata kelola perusahaan
- Peran para pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan
- Pengungkapan dan transparansi
- Hak pemegang saham
- Peran dan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi dan lainya
Dengan ketentuan tata kelola di IJK meliputi:
Perbankan
Terdapat 6 POJK dan 5 SE OJK yang mengatur tata kelola di Bank Umum, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, BPR dan BPRS serta pemberian remunerasi di Bank Umum.
IKNB
Terdapat 8 POJK dan 5 SE OJK yang mengatur tata kelola di Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Asuransi, Asuransi Syariah, Reasuransi, Reasuransi Syariah, Dana Pensiun, Modal Ventura, Perusahaan Penjamin, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
Pasar Modal
Terdapat 4 POJK dan 3 SE OJK yang mengatur tata kelola di emiten, MI, PE yang melakukan kegiatan usaha sebagai PEE dan PPE serta perusahaan terbuka.
Konglomerasi
Terdapat 1 POJK dan 1 SEOJK yang mengatur tata kelola terintegerasi bagi konglomerasi keuangan.
Fintech
Terdapat 1 SEOJK tentang tata kelola dan manajemen risiko teknologi informasi pada layanan pinjam meminjam uang yang berbasis teknologi informasi.
Ketentuan lainnya terkait Penguatan Governance di IJK baik POJK maupun SEOJK, meliputi:
- Manajemen risiko
- Pengawasan market conduct
- Anti fraud
- Perizinan
- Pemeriksaan
Kesimpulan: Stabilitas Sektor Keuangan Tetap Terjaga
Stabilitas sektor keuangan di Indonesia tetap terjaga yang dapat dilihat dari Permodalan, Likuiditas, Risiko Kredit Terjaga, Jumlah Investor Meningkat dengan mayoritas investor lokal.