Dari sudut pandang pengamat, kehadiran Perppu dianggap sebagai sebuah keniscayaan (necessity requirement). Kegagalan mengambil langkah cepat dan tepat dinilai akan merugikan Indonesia karena rusaknya kredibilitas, ancaman pengucilan, dan kemungkinan dimasukkan dalam daftar hitam yurisdiksi rahasia.
Dalam keterangan pers yang dikeluarkan Sabtu (20/5), Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo mengapresiasi langkah penerbitan Perppu oleh pemerintah. “Perppu ini patut diapresiasi sebagai langkah maju dan bentuk komitmen Indonesia berpartisipasi dalam inisiatif global tentang AEoI yang diprakarsai OECD dan G-20,” kata Yustinus dalam keterangan itu.
Dalam konteks efektivitas pemungutan pajak, menurut Yustinus, kuncinya terletak pada upaya mengawinkan siapa (identitas) melakukan apa (aktivitas). Perppu dipandang sebagai pintu pembuka, sehingga pekerjaan rumah berikutnya adalah integrasi Nomor Pokok Wajib Pajak ke Nomor Induk Kependudukan. Yustinus juga memberikan catatan perlunya kewenangan yang besar untuk mengakses data bagi DJP untuk diimbangi dengan akuntabilitas.
Klausul confidentiality and data safeguard yang menjamin perlindungan data nasabah atau WP dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan perlu diperhatikan. Untuk itu, perlu jaminan bahwa klausul ini akan dimaksukkan dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) dan UU Perbankan.
Di samping itu, yang juga diperlukan adalah pengembangan sistem teknologi informasi termasuk standard operating procedur dan pengawasan internal yang ketat, serta sanksi yang berat bagi pejabat dan pegawai yang melakukan pelanggaran.
Yustinus mendukung DPR untuk mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU karena memenuhi unsur dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time. Menurutnya, DPR dan pemerintah juga perlu segera merevisi UU terkait, khususnya UU KUP dan UU Perbankan agar dapat mendukung inisiatif global dan reformasi perpajakan yang sedang dijalankan pemerintah.
Dalam keterangan yang sama, Yustinus mengimbau masyarakat, termasuk para nasabah dan investor, untuk tetap tenang dan proporsional dalam merespons kebijakan ini. Kekhawatiran berlebihan yang didasarkan pada informasi yang tidak utuh justru akan merugikan.
“Justru kebijakan ini akan memberikan rasa keadilan bagi WP dan nasabah yang telah mengikuti pengampunan pajak, melaporkan seluruh harta, dan patuh pajak,” kata Yustinus.
Terhadap WP yang sudah mengikuti program amnesti pajak, Yustinus mengusulkan agar seyogyianya mereka diberikan kelonggaran, misalnya diberikan himbauan untuk melengkapi data perpajakannya agar mereka terhindar dari sanksi denda seperti WP yang tidak ikut amnesti pajak.
“Ini adalah saat yang tepat bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah paradigma di tengah zaman yang berubah menuju era keterbukaan,” pungkasnya.
Sumber Isi: Media Keuangan 2017
Baca Juga:
Baca Juga: