Akuntansi : Perspektif Rasa Dan Batin

Akuntansi : Perspektif Rasa Dan Batin

Hua…ha…ha… Tuhan telah mati, ayo kita makan duit rakyat dan alam ini sepuas-puasnya!,” itulah tawa arogan para utilitarian di tengah gempita pesta. (Bangkalan, 21 Juli 2006 ;Oleh Iwan Triyuwono)

Itulah sepenggal puisi yang ditulis oleh Iwan Triyuwono didalam makalahnya pada pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Akuntansi di Universitas Brawijaya pada tanggal 2 september 2006. Didalam makalahnya Beliau menekankan bahwa adakah rasa salam, rahman dan rahim didalam akuntansi konvensional? jawabannya adalah tidak. Kita tidak menemukannya didalam Akuntansi konvensional.

Baca Juga:
1. Pengertian Akuntansi Menurut Para Ahli 
2. Akuntansi: Perspektif Rasa dan Batin
3. Perusahaan Asuransi Berdasarkan Tinjauan Pustaka
4. Perkembangan Industri Asuransi di Indonesia
5. Telaah Literatur Penganggaran Daerah

Pertanyaan dan jawaban yang sekaligus diberikan oleh Triyuwono memberikan ruang didalam hati dan pikiran, betulkah Akuntansi (baca: Akuntansi konvensional) yang meletakkan dasar modernisme itu lebih kepada orientasi kapitalis yang jahat. Bahwa kapitalis dihujat sebagai semangat individualis yang menekankan pada egoisme, materialisme dan utilitarianisme. Yang pada saatnya nanti akan menjadi roh jahat dan terus mengikis rasa salam, rahman dan rahim.

Penggunaan akuntansi modern menunjukkan kaidah idiologis dan keberadaannya sebagai sarana transformatif sebuah informasi kepada khalayak ramai dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan (users). Egosentrisme sebuah laporan keuangan digambarkan oleh Triyuwono sebagai sebuah lingkaran ego. Sebab jika akuntansi disajikan dengan egoisme sang penyaji maka ia akan menjadi sebuah laporan keuangan yang egois dan berimbas kepada pengguna dengan menggunakannya secara egois.

Pada ruang kelas akuntansi misalnya pernahkah diberikan pemaknaan rasa salam, rahman dan rahim didalam konsep dan praktisnya? Tidak, fokus kajian yang diberikan kepada kita adalah penyajian laporan keuangan tersebut tersembul dari realitas dan berorientasi pada materi.

Artinya, laporan keuangan disajikan dengan perspektif tuntutan untuk menarik stakeholder-stakeholder yang berkepentingan didalamnya agar tertarik dan terpengaruh oleh magnetisme materialisme kekuatan kinerja perusahaan yang dicerminkan dari laporan keuangan.

Perspektif rasa dan batin

Dalam hal ini akuntansi yang berevolusi dalam bentuk Akuntansi syariah menyajikan perspektif lain, yakni perspektif rasa dan batin. Perspektif yang berorientasi ke Ilahian dalam makna tiga tahapan. Tingkatan tangga-tangga dasar menuju penyatuan dengan Tuhan, yakni tangga materi, tangga mental dan tangga spiritual.

Triyuwono menegaskan bahwa dari ketiga tangga tersebut akuntansi konvensional hanya berkutat pada yang pertama dan tidak melompat pada tangga mental dan tangga spiritual. Akuntansi syariah mencoba untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi dengan menekankan pada mental dan spiritual, pada kualitas rasa dan batin. Bahwa akuntansi syariah harus bergerak dengan rasa kasih dan sayang yang melahirkan kedamaian.

Pada konteks ini lahirnya dekonstruksi dan rekonstruksi pada akuntasi modern disebabkan oleh tiga landasan utama yang telah disebutkan sebelumnya, yakni egoisme, materialisme dan utilitarianisme. Disebabkan oleh cara berpikir modernisme yang cenderung reduksionis, mekanis, linier, dikhotomis, dan materialistik

Utilitarianisme berdiri dengan kokoh dengan landasan egoisme dan materilisme, yang tetap mengisi ruang kehadirannya dan membelenggu setiap manusia dalam keserakahan yang akut. Bahwa hidup ini berlimpahan dengan materi dengan pencapaian-pencapaian laba yang tinggi, tidak perduli harus dengan apa laba itu dicapai, tapi bagaimana mendapatkan laba dan menikmati laba tersebut untuk memperkaya diri dan mencapai kehidupan kemanusiaan yang penuh dengan kelimpahan materi, untuk menikmati ego yang bergerak dengan sendirinya tanpa memandang rasa kasih dan sayang.

Pada tataran ini Marx mencatatkan bahwa sarana kapitalis tersebut digunakan untuk melakukan kekayaan dalam arti sirkuit kapital uang yang dibelikan untuk menyediakan tenaga kerja dan alat-alat produksi. Atau dalam rumusan marx yang dituliskannya dengan M-C sedangkan C=L + mp dengan kata lain M-L dan M-mp. (Karl Marx, Kapital, Buku II, Proses Sirkulasi Kapital)

Tenaga kerja dibeli untuk menghasilkan laba, memproduksi laba bagi sang kapitalis. Sang kapitalis dapat saja melepaskan sang tenaga kerja jika sudah tidak membutuhkannya lagi dan membuangnya dalam kotak sampah. Pada saat yang sama keterpaksaan menghantui tenaga kerja untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada majikan dan siap untuk diberikan upah yang murah. Atau dalam konteks lain, terdapat ketimpangan antara pendapatan dengan pekerjaan.

Kehadiran akuntansi syariah dalam perspektif ini mengejutkan saya secara pribadi betulkah akuntansi syariah dapat berperan dalam memberikan keadilan dan menyatukan diri dengan Tuhan, mendekonstruksi sistem-sistem ekonomi yang telah mapan dan sulit untuk diruntuhkan. Mungkin saja dalam wilayah perspektif hal itu mampu untuk dilakukan namun apakah penerapannya dalam wilayah praktis akan berbentuk sama dalam akuntansi konvensional. Yang hanya dipoles dengan kebijakan idiologis, sekedar menambahkan dari yang sudah ada.

Dengan mendengungkan kata-kata sakti, Triyuwono dengan tegas mengatakan ‘manunggaling kawula gusti” bagaimana diri ini menyatukan diri ini dengan Tuhan, bukan pada saat mati namun pada saat hidup. Konsep manunggaling kawula gusti yang di rajah Triyuwono sebagai emanisipasi dari Syeh Siti Jenar menggambarkan kondisi spiritulaitas seorang akuntan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Bagaimana pada tataran ini kita mampu untuk menyatukan diri dengan Tuhan dengan rasa salam, rahman dan rahim.

Dasar-dasar akuntansi syariah yang menekankan pada keadaan mental dan spiritual menghadirkan kegialaan-kegilaan yang luar biasa menarik dan memberikan perspektif baru bagi masyarakat akuntansi. Konsep yang dilahirkan ditengah kehampaan masyarakat yang haus akan materi, menjegal dan menghalalkan segala yang haram untuk mendapatkan laba, suasana segar kesufian yang masuk dalam wilayah akuntansi syariah adalah konsep yang luar biasa indah dan menyegarkan.

Melalui pendekatan Epistemologi Berpasangan yang rasional-intuitif, Akuntansi Syari’ah memformulasikan tujuan dasar laporan keuangannya sebagai berikut : memberikan informasi (information), media untuk akuntabilitas (accountability). Sekilas dua tujuan ini sama dengan akuntansi modern, tetapi sebetulnya secara substansial makna dari dua tujuan tersebut sangat berbeda. Tujuan pertama merupakan representasi dari dunia materi, sedangkan tujuan kedua merupakan representasi dari dunia spiritual. Epistemologi Berpasangan merupakan pendekatan yang digunakan untuk membangun Akuntansi Syari’ah.(Triyuwono, september 2006).

Dasar-dasar pijakan tersebut yang menekankan pada dunia materi, mental dan spiritual yang memeberikan pencerahan pada tindakan kejujuran, keadilan dan berproses pada penyampaian kebenaran. Sebagai timbangan keadilan yang tunjukkan dalam neraca, bahwa timbangan tersebut menunjukkan tingkat keseimbangan, penyatuan unit-unit tersebut yang akan membawa kepada Tuhannya. Bentuk pertanggungjawaban atas realitas yang dilakukan dalam bentuk keseimbangan rasa dan batin.

Dengan penegasan yang jelas atas rasa dan batin tersebut memberikan pengokohan diri melalui pagar-pagar mental dan spiritual. Mental yang dibangun adalah mental yang berani untuk menyajikan laporan keuangan secara jujur, netral, dapat diandalkan dan tindakan terpuji lainnya. Sehingga laporan keuangan tersebut memang betul-betul merepresentasikan kondisi keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Dalam konteks tersebut bahwa akuntansi syariah menjabarkan tanpa didasari oleh tindakan-tindakan yang merugikan seperti Income Smoothing, Window Dressing dan kejahatan kerah putih lainnya.  

Lalu bagaimana pembentukan mental tersebut? Pembentukan mental tersebut adalah dengan memberikan pondasi spiritualitas sang akuntan. Bahwa tanggung jawab untuk menyajikan laporan keuangan yang layak merupakan tanggung jawab yang akan dibawa sampai ke akhirat. Seluruh catatan yang di buat akan dicatat oleh malaikat-malaikat Allah dan akan dipertanggungjawabkan pada yaumul hisab.

Dan jiwa spiritualitas inilah yang menjadi dasar utama dalam memisahkan akuntansi konvensional dan akuntansi syariah. Di dalam akuntansi konvensional kita tidak menemukannya. Oleh sebab itu membangun tanggung jawab spiritualitas tersebut adalah dengan mengimplementasikannya melalui rasa salam, rahman dan rahim.

Pada tataran lainnya menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan seorang akuntan akan berimbas pada keputusan serta kebijakan manajemen, pemilik, investor dan masyarakat. Para pengguna laporan keuangan tersebut menggantungkan informasinya kepada para akuntan.

Disini dapat digaris bawahi bahwa kondisi tersebut merupakan tanggung jawab sosial seorang akuntan untuk menyajikan laporan keuangan secara benar. Tanggung jawab sosial tersebut merupakan salah satu bagian dari tanggung jawab spiritual. Inilah peran penting akuntansi syariah dalam menanamkan perspektif rasa dan batin tersebut. Karena didalamnya nilai-nilai kebatinan tesebut membentuk sebuah paradigma yang akan memberikan keindahan dalam menyajikan laporan keuangan. Semoga 

Recommended For You

About the Author: Guntur Subing

Memiliki hobi tulis menulis dan mengelola blog. Moto; "Bersemangat dalam Pengembangan Diri dan Terus Belajar Sampai Akhir Hayat"

2 Comments

Comments are closed.